Skip to content

Rancangan Perda Pesantren di Jember Wajibkan Kepemilikan NSPP Fisherman’s Friend

  • by

Rancangan Perda Pesantren di Jember Wajibkan Kepemilikan NSPP. 👇

Jember (bertajatim.com) – Rancangan Peraturan Daerah tentang Pondok Pesantren yang tengah dibahas di DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, mewaibkan kepemilikan Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP) bagi semua pondok pesantren yang ingin mendapat fasilitasi dari pemerintah daerah.

Hal ini terungkap dalam rapat pembahasan perda tersebut di DPRD Jember, Senin (6/11/2023). Rapat tersebut dipimpin Hafidi, politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan dihadiri tim penyusun dari Universitas Islam Jember dan perwakilan Pengurus Nahdlatul Ulama Cabang Jember.

Khoiru Nail, anggota tim perumus naskah akademik perda, mengatakan, pihaknya menemui keberagaman pondok pesantren di lapangan. “Ada pondok pesantren yang memiliki santri yang tidak bermukim. Tapi saya sendiri ingin pondok pesantren ini memiliki santri yang bermukim,” katanya. Selain itu ada pondok pesantren dengan kategori besar, menengah, dan kecil.

Namun tim perumus perda menetapkan pondok pesantren harus memiliki Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP) yang diterbitkan Kementerian Agama sebagai salah satu kriteria penerima fasilitasi bantuan dari pemerintah sebagaimana diatur oleh perda.

“Itu kunci utama yang tidak bisa diutak-atik mulai dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019,” kata Khoiru. Ini yang kemudian membuat Kementerian Agama dimasukkan dalam tim fasilitasi penyelenggaraan pondok pesantren sebagaimana disebutkan dalam rancangan perda.

Masalahnya, lanjut Khoiru, tim sering mendapat keluhan dari sebagian pesantren yang kesulitan mendapatkan NSPP. “Ada yang sudah mengajukan tapi tidak tahu ujungnya dan tahapannya. Tapi kami tidak bisa mengubah pasal,” katanya.

Dalam rapat itu, Nuzulul Ulum, salah satu anggota tim perumus naskah akademik yang juga Wakil Rektor Universitas Islam Jember, mengatakan, ada tiga kategori pondok pesantren, yakni pondok pesantren salaf, pondok pesantren khalaf, dan pondok pesantren kombinasi.

“Pondok pesantren salaf masih mempertahankan metode pembelajaran tradisional. Jadi ada pengajian kitab kuning, dan mempertahankan tradisi yang ada di pesantren. Di pesantren salaf ini pola kepemimpinannya lebih bersifat sentralistik, yakni apa kata kiai,” kata Ulum.

Di pesantren salaf yang dikunjungi tim perumus naskah akademik, tidak ada pendidikan formal sama sekali. “Bahkan NSPP-nya belum punya. Mereka kalaub disuruh mengurusi insyaallah tidak mau. Tapi kalau ada yang membantu untuk mengurus NSPP, insyallah mau,” kata Ulum.

Ulum berharap ada fim fasilitasi pondok pesantren yang membantu pondok pesantren salaf yang masih terkesan tertutup untuk mengurus NSPP, sehingga bisa memperoleh bantuan pemerintah.

Pomdok pesantren berikutnya adalah pondok pesantren berkategori khalaf. “Pondok pesantren ini adalah pondok pesantren modern. Salah satu cirinya menyelenggarakan pendidikan formal, tapi tidak menyelenggarakan pendidikan tradisional. Jadi tidak ada kajian kitab kuning, tapi diajari studi keislaman atau dirasah islamiyah,” kata Ulum. Kepemimpinan pomdok pesantren modern ini kolektif demokratis.

Kategori ketiga adalah kategori pondok pesantren kombinasi. “Ini merupakan pondok pesantren kombinasi salaf dan khalaf. Masih mempertahankan pengajian tradisional. Ada pengajian kitab kuningan dengan metode bandongan dan sorogan maupun wetonan. Tapi mereka juga melakukan pendidikan formal, seperti TK, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, sampai ma’had aly,” kata Ulum.

Ulum berharap tiga kategori pondok pesantren ini bisa memperoleh perhatian dari pemerintah dengan bantuan. “Tapi dengan syarat memiliki NSPP. NSPP ini jadi kunci untuk kita mengetahui kondisi pondok pesantren, termasuk kiai, santri, dan metodenya,” katanya.

Hafidi setuju semua harus didasarkan pada mekanisme peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Apapun yang terkait dengan pondok pesantren tercantum dalam data NSPP. “Ini sudah final, karena di NSPP semua sudah diketahui,” katanya.

Hafidi membantah anggapan soal rumitnya pengurusan NSPP. “Saya kira tidak. Awal memang ruwet, karena semua kiai memegang kitab, sementara NSPP membutuhkan laptop. Kiai jangankan tahu, memegang saja tidak pernah. Sehingga bukannya tidak mau,” katanya.

Selama tiga bulan terakhir, Komisi D DPRD Jember yang diketuai Hafidi juga mendukung Kementerian Agama untuk menyosialisasikan NSPP di kalangan pesantren. “Dan ternyata itu sudah dilakukan Kementerian Agama. Berdasarkan hasil monitoring kami di Kementerian Agama, mulai dari hanya 50 pondok pesantren yang mengurus NSPP pada tiga bulan kemarin, sekarang sudah ada 568 pondok pesantren di Jember, yang masuk NSPP,” kata Hafidi.

Kepala Kantor Kementerian Agama Jember Akhmad Sruji Bahtiar menegaskan, pengurusan NSPP tidak sulit. Pelayanan NSPP ini bisa diakses daring melalui aplikasi Sitren (Sistem Informasi Tanda Keberadaan Pesantren).

“Paling lambat seminggu setelah mengajukan NSPP, kami sudah memberikan jawaban apakah pondok pesantren memenuhi syarat ataukah tidak. Kalau tidak memenuhi syarat, apa yang belum terpenuhi pasti kami sampaikan. Penentunya nanti Kementerian Agama RI. Kalau agak lama, ya karena yang dilayani seluruh Indonesia,” katanya.

Bahtiar kemudian mempertanyakan kategorisasi pesantren yang disebutkan tim perumus perda. Jika mengacu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019, pondok pesantren yang tidak mengajarkan kitab kuning tidak bisa disebut pondok pesantren. “Yang namanya pondok pesantren itu ada kajian kitab kuning. Maka menurut saya, cukup dibagi dua kategori saja, yakni salaf dan khalaf. Kombinasi ini hal baru dalam pondok pesantren,” katanya.

Hafidi juga setuju semua pondok pesantren yang memenuhi syarat harus difasilitasi negara. Namun sebagaimana Bahtiar, dia mempertanyakan istilah ‘pondok pesantren kombinasi’ yang menjadi kategori ketiga. “Ini bahasa Arab kombinasi apa? Kami ingin ada kesamaan. Jangan pakai bahasa kombinasi,” katanya.

Selain itu, Bahtiar mengingatkan, Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2020 mensyaratkan jumlah minimal 15 orang santri mukim di sebuah pesantren. “:Maka kalau tidak ada, pasti tidak akan kami verifikasi dan keluarkan izin operasionalnya. Kalau ada ya wallahualam bishawwab. Pasti dekingan pusat,” katanya.

Anggota pansus dari Gerindra, Sunardi, sepakat kategori salaf, khalaf, kombinasi tetap ada dalam perda. “Hanya mencari padanan nama untuk ‘kombinasi’. Zaman semakin berkembang. Keinginan pondok pesantren tidak selamanya ingin salaf atau khalaf, tapi ingin dua-duanya. Kalau ini muncul bagaimana? Apakah boleh pondok pesantren mengajukan (kategori) dua-duanya? Kalau tidak boleh, maka harus ada kombinasi,” katanya.

Ardi Pujo Prabowo, anggota pansus lainnya dari Gerindra, sepakat jika kategori ‘kombinasi’ tidak dicantumkan. “Karena ini akan semakin membias. Kalau memang ada dua kriteria, dua kriteria itu saja yang kita pakai yakni salaf dan khalaf,” katanya.

Hafidi sependapat dengan Ardi. “Arkanul Ma’had adalah kunci. Saya lebih sependapat bahwa pondok pesantren adalah salaf dan khalaf. Di NSPP, data itu sudah muncul. Munculnya dua macam. Pondok pesantren kombinasi ini apa? Sekarang banyak pondok pesantren. tapi kajian kitabnya tidak jelas,” katanya.

Akhirnya disepakati oleh forum hanya ada dua kategori pesantren yakni salaf dan khalaf. Pondok pesantren dengan model pelaksanaan kombinasi akan dimasukkan dalam kategori khalaf. “Sebetulnya di Jember, pondok pesantren khalaf lebih banyak, karena selain menyelenggarakan pendidikan formal, juga ada pendidikan kitab kuning,” kata Hafidi. [wir]


Ikuti kami di 👉https://bit.ly/392voLE
#beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp