Skip to content

Semaoen dan Napas Panjang Sastra Jombang Fisherman’s Friend

  • by

Semaoen dan Napas Panjang Sastra Jombang. 👇

Jombang (beritajatim.com) – Membincang Jombang bukan hanya soal pesantren, buka hanya soal ludruk, juga bukan soal ijo (hijau) dan abang (merah). Tapi Jombang juga memiliki kekayaan dalam sastra. Hal itulah yang dipetakan oleh sejumlah pegiat sastra dalam sarasehan yang digelar di Ruang Teater Terbuka Griya Kwaron Kecamatan Diwek, Jumat (27/10/2023) sore.

Lokasi tersebut berada di pekarangan milik Gus Riza Yusuf Hasyim. Letaknya di belakang rumah induk. Halaman belakang itu cukup luas. Aneka pepohonan menciptakan kesejukan tersendiri di pekarangan tersebut.

Di tempat itu pula panggung sederhana berdiri. Sebuah meja dan tiga kursi menjadi pemanis panggung tersebut. Semua semakin nampak alami dengan pohon bersar bersulur yang dijadikan latar belakang panggung. Di panggung itulah tiga orang duduk. Satu moderator dan dua nara sumber.

Dua nara sumber adalah sastrawan Jombang Binhad Binhad Nurrohmat dan dosen sastra dari Jombang Anton Wahyudi. Sedangkan moderator dalam saresehan tersebut adalah Andi Kepik. Sarasehan tersebut merupakan rangkaian acara Tasyakuran Peringatan Resolusi Jihad dan Napak Tilas Perjuangan Masyayikh Pesantren Tebuireng.

Sarasehan dikemas serius tapi santai. Para pegiat sastra di Kota Santri hadir. Tentu saja, Gus Riza yang merupakan putra dari KH Yusuf Hasyim berada deretan depan karena sebagai tuan rumah. Gus Riza menyilakan seluruh undangan yang hadir.

BACA JUGA:
Cerita RA Kartini Ingin Belajar ke Mojowarno Jombang

Binhad memulai paparannya dengan ringan. Dia mengatakan, telah melakukan survei terhadap karya sastra yang ada di Jombang. Binhad menyebutnya sastra Jombang. Dalam survei itu Binhad membatasi dalam dua ketagori.

Pertama adalah karya sastra yang ditulis oleh orang-orang yang lahir di Jombang. “Tak peduli saat ini orang tersebut tinggal dimana pun. Yang kedua, karya satra yang ditulis oleh siapa pun dari mana pun, tapi menulisnya saat yang bersangkutan berada di Jombang,” ujar sastrawan berambut gondrong ini.

Binhad kemudian mencontohkan sosok Emha Ainud Nadjib. Menurutnya, meski Emha banyak berkarya di Yogyakarta, tapi pria akrab disapa Cak Nun tersebut adalah kelahiran Jombang. “Nah, untuk yang kedua itu seperti saya. Saya ‘tidak jelas’, tapi tinggal di Jombang. Saya menulis di sini. Itu sastra Jombang. Jadi ada dua batasan,” ungkapnya.

Nah, dari survei tersebut Binhad menemukan banyak hal menarik. Menurutnya, perjalanan sejarah sastra di Jombang seiring dengan perjalanan awal sastra Indonesia modern. Yakni, angkatan Balai Pustaka, sekitar tahun 1920-an.

Sastra Melawan Kolonialisme

Para undangan yang mengikuti sarasehan sastra

Dari Jombang muncul penulis pada masa itu. Tapi karena karakternya yang melawan kolonialisme, dia tidak dimasukkan dalam angkatan Balai Pustaka. Tulisannya dianggap sebagai bacaan liar. Penulis sastra itu bernama Semaoen. Dia juga merupakan pendiri PKI (Partai Komunis Indonesia).

“Semaoen ini bagian dari titik nol sejarah sastra Indonesia. Tapi jarang dibicarakan. Di sekolah juga tidak pernah dibahas. Karena ada faktor politik pada masa orde baru. Semaoen seolah tersobek dari lembar sejarah. Itu karena keterlibatan Semaoen dalam PKI,” kata Binhad.

Terlepas dari itu semua, Binhad lebih menekankan Semaoen pada sisi kekaryaan. Bukan Semaoen pada sisi politik. Nah, hal tersebut menurut Binhad sangat menarik. Karena ada tokoh dari Jombang menjadi bagian daro awal sejarah sastra yang memberi corak pada masa itu.

“Karya Semaoen ada beberapa. Salah satu yang paling terkenal adalah Novel Hikayat Kadiroen. Novel ini ditulis Semaoen ketika di penjara, yakni pada tahun 1919. Awalnya ditulis secara bersambung di sebuah koran. Kemudian tahun 1920-an diterbitkan dalam bentuk buku. Ini saya sudah mengoleksi bukunya,” kata Binhad.

Jombang ke Yogyakarta

Namun setelah tahun 1920, dalam survei yang dilakukan, Binhad tidak menemukan jejak sastra Jombang. Kevakuman itu mulai 1930 hingga tahun 1960-an. Nah, pada 1970 baru muncul lagi. Ada beberapa penulis dari Jombang yang tinggal di Yogyakarta. Mereka terlibat aktif dalam kelompok sastra bernama PSK (Persada Studi Klub).

Kelompok yang bermarkas di Jl Malioboro ini dipimpin oleh Umbun Landu Paranggi. Dua nama itu adalah Ahmad Munif dan Emha Ainun Nadjib. “Ahmad Munif adalah novelis yang sangat produktif. Beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu. Yang kedua adalah Emha Ainun Nadjib. Kalau yang ini sudah kenal semua,” ujarnya.

Lalu pada tahun 1980 kembali muncul arek Jombang yang berkarya di Kota Gudeg Yogyakarta. Dia adalah Abidah El Khalieqy. Novel karya Abidah yang terkenal adalah Perempuan Berkalung Sorban. Novel ini pernah difilm-kan.

BACA JUGA:
Tarekat Shiddiqiyyah Jombang dalam Ayunan Sejarah

Bagaimana dengan 1990-an? Binhad belum jejak satra Jombang di era tersebut. Nah, setelah reformasi baru muncuk karya dari Jombang yang ditulis dari Jombang juga. Awal tahun 2000-an, muncul komunitas sastra di Kota Santri bernama Komunitas Lembah Pring yang didirikan oleh almarhum Fahrudin.

“Setelah itu komunitas serupa bermunculan. Sehingga sastra di Jombang semakin hidup. Banyak kegiatan yang dilakukan. Mulai dari situ muncul banyak penulis. Setelah era Fahrudin cs, muncul juga penulis-penulis muda dari ranah pesantren. Ada yang menulis novel, ada pula menulis puisi,” ungkapnya.

Menurut Binhad, satra Jombang pada setiap zaman memiliki corak tersendiri. Pada era Semaoen coraknya adalah pergerakan, sedangkan pada era 1970-an coraknya lebih relijius. Selanjutnya, tema yang diangkat lebih beragam.

“Menurut saya perlu ada museum sastra Jombang. Museum tersebut berisi tentang karya-karta sastra Jombang, yakni dengan dua batasan yang saya paparkan tadi,” ujar Binhad.

Enam Fase

Sarasehan satu abad sastra Jombang

Sementara itu, Anton Wahyudi dalam paparannya mengungkapkan tentang penelitiannya tentang sastra Jombang. Hanya saja, penelitian sebagai syarat gelar S-3 tersebut belum kelar. Penelitian itu berjudul Metafiksi Stereografi Sastra Jombang.

“Jadi studi kasus sastra Jombang 1908 sampai 2020 atau satu abad. Tapi sekali lagi, sampai sekarang belum selesai. Malah oleh pembimbing disarankan untuk mengangkat tema ludruk,” ujar Anton.

Anton menyerankan agar satu abad tersebut dipertegas antara tahun berapa hingga berapa. Menurut Anton, sejarah panjang tersebut bisa dibagi menjadi enam tahap. Fase pertama, era kolonial dan masa perlawanan. Ini termasuk era penjajahan Jepang.

BACA JUGA:
Pesantren Tebuireng Jombang; Dari Sarang Maksiat Menjadi Pusat Ilmu Agama

Lalu fase kedua adalah masa perang dan revolusi selama empat tahun, yakni 1945 hingga 1949. Kemudian fase ketiga atau pascarevolusi, antara 1949 sampai 1959. Selanjutnya era Orde Lama selama tujuh tahun, 1959 hingga 1966.

“Lalu fase Orde Baru mulai 1966 hingga 1998 atau selama 32 tahun. Terakhir fase reformasi mulai 1998 sampai sekarang atau 25 tahun. Kalau ini diklasifikasikan mulai fase awal hingga sekarang sangat menarik,” kata Anton. [suf]


Ikuti kami di 👉https://bit.ly/392voLE
#beritaviral #jawatimur #viral berita #beritaterkini #terpopuler #news #beritajatim #infojatim #newsupdate #FYI #fyp